Rabu, 25 Mei 2011

HIDUP SEDERHANA SANGAT MENGUNTUNGKAN


“In character, in manner, in style, in all things, the supreme exellence is simplicity. – Dalam karakter, sikap, gaya, dalam segala hal, kesederhanaan adalah hal yang terindah.”
~Henry Wadsworth Longfellow~


Hidup sederhana sangat menyenangkan. Terlebih dalam kehidupan modern dimana kita tak pernah dapat lepas dari banyak sekali pilihan dan jalan sekaligus kesulitan. Berusaha hidup sesederhana mungkin akan sangat membantu kita menemukan banyak keuntungan dan hidup lebih baik meskipun kita harus dihadapkan pada kondisi krisis ekonomi global seperti saat ini.

Selain itu, hidup sederhana akan membuat kita lebih menikmati apa yang ada saat ini, karena tidak terlalu khawatir akan masa depan atau opini negatif orang lain. Sebagaimana Sir Chinmoy mengatakan, ”Simplicity is our natural or conscious awareness of reality. – Kesederhanaan adalah kesadaran alamiah akan kenyataan diri kita sendiri.” Kesadaran tersebut akan membantu kita lebih fokus pada potensi diri sendiri dan semangat untuk lebih giat berusaha, tak hanya berangan-angan atau meratapi kegagalan masa lalu. Dengan demikian, kita dapat meraih harapan lebih cepat dan lebih banyak dari yang diinginkan.

Kesederhanaan dalam hidup semua berawal dari pikiran. Hidup sederhana sama artinya dengan terus belajar menjernihkan pikiran dan tidak membiarkan diri kita dikuasai oleh pemikiran-pemikiran negatif. Dengan kata lain, kesederhanaan membuat kita menemukan ketenangan pikiran.

Kemauan untuk selalu hidup sesederhana mungkin dapat menumbuhkan kreatifitas. Cobalah bertanya kepada diri sendiri tentang apa yang dapat Anda lakukan dengan apa yang Anda miliki? Pertanyaan tersebut akan mendorong Anda untuk memutar otak guna memecahkan suatu masalah dengan memanfaatkan apa yang sudah Anda miliki, daripada mencoba untuk ’membeli’ solusi yang berarti pengeluaran uang lagi.

Keuntungan lain dari hidup sederhana lainnya adalah tidak menimbulkan kecemburuan sosial, kesibukan yang berkurang, sehingga lebih banyak waktu untuk istirahat, mengembangkan diri, berbagi dengan orang lain dan lain sebagainya. Keuntungan yang terpenting adalah kita menjadi lebih bahagia dengan apapun yang kita miliki. Sementara keuntungan selalu ada dari hidup sederhana adalah biaya hidup menjadi lebih ekonomis.

Harus dipahami bahwa hidup sederhana bukan kehidupan kaum miskin. Sebab banyak milyuner kelas dunia hidup sangat hemat dan sederhana atau jauh dari kemewahan. Kita coba perhatikan Warren Buffet yang disebut majalah Forbes edisi bulan Agustus 2008 sebagai pria terkaya di dunia dengan total kekayaan senilai 62 milyar USD. Keseharian hidup pria yang mendapat gelar Sage of Omaha atau Oracle of Omaha karena kehebatan pikirannya tersebut sangat dekat dengan prinsip hidup hemat dan mungkin dapat kita jadikan pedoman.

Ketika diwawancara televisi CNBC beberapa waktu yang lalu, Warren Buffet menyatakan bahwa ia masih tinggal di rumah sederhana berkamar 3 di kota Ohama. Rumah itu sudah ia tempati bersama keluarga sejak menikah tahun 1959. Walaupun rumah itu jauh dari kesan mewah, tetapi ia mengatakan, “Saya memiliki segalanya di rumah ini.”

Dengan harta yang sedemikian banyak dan sumber pendapatan yang sangat besar, Warren Buffet masih sangat berhati-hati dalam hal pengeluaran uang. “Watch your expenses,” katanya. Ia hanya akan membeli barang jika benar-benar diperlukan, itupun dengan harga semurah mungkin. Ia menyarankan agar membudayakan sikap seperti itu tak hanya pada diri sendiri, melainkan kepada semua anggota keluarga.
Ia menjelaskan bahwa pengeluaran sekecil apapun akan membebani kondisi keuangan. Untuk itu ia menyarankan agar menjadi ’smart buyer’ atau pembeli yang cerdas yang hanya membeli barang atau jasa yang diperlukan bukan yang diinginkan. Sebab keinginan manusia tak pernah ada habisnya bahkan sering menyebabkan kebangkrutan.

Pada saat yang sama ia juga menyatakan, “Always think how you can accomplish things economically. – Berusahalah untuk mendapatkan segala sesuatu dengan harga paling ekonomis atau murah.” Hal itu tercermin dari keseharian Warren Buffet yang tak pernah membeli mobil baru, tidak mempunyai sopir ataupun pengawal pribadi. Kemana-mana iapun memilih menumpang pesawat kelas bisnis daripada menaiki jet pribadi, meskipun ia memiliki perusahaan pembuatan pesawat jet terbesar di dunia.

Sikap Warren Buffet yang berani menjadi diri sendiri patut kita teladani. Ia berprinsip bahwa dirinya adalah satu-satunya orang yang dapat mengendalikan kehidupan dan masa depannya sendiri. Itulah mengapa ia tidak pernah membeli barang-barang bermerek atau melakukan kebiasaan mewah lainnya, melainkan membeli barang-barang yang membuatnya merasa nyaman.

Meskipun hartanya melimpah ruah, tetapi ia tidak suka pamer. “Don’t try to show off, just be yourself and do what you enjoy doing. – Jangan pamer, jadilah diri sendiri dan menikmati apa yang Anda lakukan,” tegasnya. Ia mengingatkan agar kita tidak terjebak dengan sikap semu, misalnya ingin selalu menunjukkan kesan mampu atau mengedepankan gengsi walaupun harus menguras isi kantong. Sikap hidup sederhana dan apa adanya itu akan jauh lebih baik dan menguntungkan, daripada berusaha mengejar gaya hidup di luar jangkauan kemampuan keuangan.

Warren Buffet mewanti-wanti agar tidak berhutang. “Avoid bank loans and invest in yourself. – Hindari membayar bunga bank (meminjam uang) dan berinvestasilah untuk diri sendiri,” pesannya. Bukan berarti ia anti berurusan dengan bank atau pinjaman, asalkan pinjaman tersebut benar-benar dimanfaatkan sebagai modal usaha meningkatkan kualitas ekonomi dan bukan untuk memenuhi gaya hidup konsumtif.

Sikap hemat dan sederhana Warren Buffet bukan pertanda ia hanya senang menumpuk pundi-pundi uang atau ia enggan berbagi dengan orang yang kesulitan. Tahun 2006, ia mendonasikan 90% dari hartanya, berkisar diantara 30,7 milyar USD, untuk yayasan sosial Bill & Melinda Gates. Walaupun hartanya sudah didonasikan sedemikian banyak, gaya hidup hemat dan sederhana membuat hartanya terus bertambah bahkan sekarang jauh lebih besar (62 milyar USD).

Kehidupan Warren Buffet menginspirasikan betapa kesederhanaan itu menguntungkan. Kesederhanaan dan sikap hemat Warren Buffet tidak hanya membuat dirinya menikmati kesuksesan, tetapi juga lebih dicintai dan dihargai banyak orang dibandingkan mereka yang selalu hidup bergelimang kemewahan. Jika Anda ingin menjadi mengambil bagian keuntungan dari kesederhanaan itu, maka mulai saat ini jadikan pola hidup sehemat dan sesederhana mungkin sebagai bagian yang tak terpisahkan dalam keseharian Anda.



DI BALIK KESUKSESAN DAN KEBAHAGIAAN HIDUP PRIA DAN WANITA  
Ada cinta, perhatian dan penghargaan dibalik kesuksesan dan kebahagiaan pria dan wanita. Tak heran jika sampai ada pepatah mengatakan bahwa di belakang seorang pria hebat pasti ada seorang wanita yang hebat. Begitupun sebaliknya, karena wanita dan pria diciptakan untuk saling melengkapi.

Contohnya dalam kehidupan Barrack Husein Obama, presiden AS terpilih ke-44. Tak hanya satu tetapi 3 wanita yang berperan besar terhadap kehidupan pria yang sedang hangat dibicarakan dunia akhir-akhir karena begitu diharapkan mampu menyelesaikan masalah-masalah peperangan, inflasi, krisis keuangan global dan menorehkan sejarah baru di AS maupun dunia. Ibu, nenek dan istrinya sangat berpengaruh terhadap sikap, pola pikir, hingga proses ia terpilih menjadi presiden pada tanggal 5 Oktober 2008 lalu.

Barrack Husein Obama adalah putra Ann Dunham, seorang wanita asal Wichita Kansas. Ibunya dikenal pandai bergaul dan mengedepankan pendidikan putra-putrinya. Oleh sebab itu, pada tahun 1972 ia membawa Obama kembali ke Honolulu-Hawaii untuk belajar dan diasuh neneknya. Obama dianggap mewarisi kepintaran ibunya dalam bergaul dan berbahasa.

Madelyn Dunham adalah wanita yang banyak mempengaruhi pola pikir dan sikap Obama. Wanita tersebut sangat realitis, disiplin, dan hanya berbicara seperlunya. Sikap dan pola pikir Obama pun terbentuk tak jauh berbeda dengan perilaku neneknya itu.

Sedangkan Michelle Robinson adalah wanita yang dinikahi Obama pada tanggal 3 Oktober 1992. Wanita yang mendapat Juris Doctor (J.D) degree dari Sekolah Hukum Harvard dan B.A cum laude di Princenton University tahun 1985 itu sangat besar perhatiannya terhadap keluarga terutama terhadap pendidikan kedua putrinya dan karir Obama. Ia adalah motivator yang handal bagi Obama terlebih selama masa kampanye pemilihan presiden AS.

Sejak bulan Mei 2007, wanita kelahiran Chicago 17 Januari 1964 itu makin intensif mendampingi suaminya berkampanye. Bahkan pada bulan Februari, dalam 8 hari Michelle menghadiri 33 acara dan 2 kali tampil dalam acara Oprah Winfrey Show. Michelle dianggap sebagai figur publik yang kharismatik sejak awal kampanye. Setiap pidatonya, terutama pada malam konvensi tanggal 25 Agustus 2008, telah berhasil memikat hati publik. Obama sangat beruntung memiliki istri, ibu dan nenek yang sangat membantu meraih keberhasilannya.

Begitulah wanita memiliki kekuatan sekaligus kelembutan sehingga mempunyai peran yang sangat penting dalam kehidupan kita. Tuhan menjadikan wanita mahkluk verbal, yang dapat menyebabkan orang lain merasa nyaman dan bahagia, tetapi juga dapat menyebabkan frustasi dan stres. Begitupun seorang pria, ia juga berperan besar memberikan efek positif ataupun negatif.

Masing-masing individu, pria atau wanita sama-sama berperan penting sebagai agen perubahan positif, dengan syarat harus ada nilai-nilai penghargaan, perhatian dan cinta yang terpelihara diantara keduanya. Wanita memerlukan cinta, perhatian dan penghargaan seperti membutuhkan udara untuk bernafas, begitupun laki-laki. Oleh sebab itu perlakukan pasangan dengan cinta, perhatian dan penghargaan yang ia butuhkan, sebab setiap orang diciptakan sama-sama memiliki kekuatan sekaligus harga diri.

Penghargaan meliputi perhatian terhadap apa yang mereka lakukan, membiarkan masing-masing menjadi diri mereka sendiri dan berbeda dari diri Anda. Laki-laki dan perempuan sama-sama ingin dimengerti dan dihargai atas apa yang telah mereka usahakan. Untuk itu berusahalah saling mengikuti harapan atau kebijaksanaan masing-masing. Bertumbuhlah bersama, termasuk dalam hal intelektual.

Sementara itu, laki-laki dan perempuan mempunyai bahasa yang berbeda dalam mengungkapkan cinta, perhatian dan penghargaan. Dalam banyak hal wanita dan pria juga mempunyai cara yang berbeda dalam mengekspresikan cinta, perhatian dan penghargaan. Oleh sebab itu buatlah jurnal atau catatan yang dapat mengingatkan Anda untuk menghargai cinta dan perhatian pasangan.

Tentu saja tanpa memberi cinta, perhatian dan penghargaan terhadap orang lain maka Anda akan kesulitan mendapatkan hal serupa. “Jika ingin mengambil, Anda harus memberi lebih dulu. Inilah awal mula kecerdasan,” kata Lao Tzu (600-531 SM), seorang filsuf Cina, penemu ajaran Taoisme. Oleh sebab itu jangan segan mengekspresikan cinta, perhatian, dan penghargaan yang tulus terhadap pasangan. Karena Anda juga akan mendapatkan cinta dan penghargaan, yaitu modal maya paling berharga dibalik keberhasilan dan kebahagiaan hidup Anda.













RAHASIA PENSIUN MUDA, KAYA RAYA, DAN BAHAGIA
Pensiun muda, kaya raya, dan bahagia adalah idaman setiap orang. Siapa yang mau kerja sampai tua tapi tetap miskin dan menderita? Ada orang yang setelah menetapkan goal mereka dapat mencapai goal itu dengan cukup mudah. Ada yang perlu kerja sedikit lebih keras… dan akhirnya berhasil. Namun ada juga yang telah bekerja sangat keras tetap belum bisa berhasil.

Sebenarnya apakah sulit untuk bisa pensiun muda, kaya raya, dan bahagia? Ah, nggak. Justru sangat mudah.

Jika memang sangat mudah mengapa banyak orang tidak bisa mencapainya? Nah, inilah alasannya saya menulis artikel ini.

Jawaban singkatnya sederhana sekali. Ini semua bergantung pada definisi sukses yang mereka tetapkan untuk diri mereka.

Lho, maksudnya?

Begini ya. Banyak orang tidak menetapkan secara sadar arti sukses bagi diri mereka. Umumnya orang, termasuk saya juga dulunya, mengadopsi sukses berdasarkan definisi atau kriteria orang lain. Itulah sebabnya bila kita bertanya kepada orang, “Apa yang ingin anda capai dalam hidup?”, mereka akan menjawab, “Sukses”. Kalau kita kejar lagi, “Sukses seperti apa?”, maka umumnya mereka akan menjawab, “Mencapai kebebasan waktu dan uang” atau “Pensiun dini”. Yang paling keren adalah jawaban, “Muda kaya raya, tua foya-foya, mati masuk surga”.

Dulu saya juga ingin sukses seperti di atas. Namun sekarang saya mengerti. Sukses bukanlah seperti yang didefinisikan kebanyakan orang. Kita harus menetapkan sendiri definisi sukses. Saya mendefinisikan sukses sebagai perjalan diri berdasar peta sukses yang kita rencanakan sendiri dengan kesadaran kita saat itu.

Di sini ada dua komponen penting. Pertama, sukses adalah perjalanan yang dilakukan berdasarkan peta sukses. Kedua, peta sukses ini kita rencanakan sendiri dengan kesadaran kita saat itu.

Peta sukses ini adalah impian-impian yang ingin kita capai dalam hidup. Impian harus memenuhi dua syarat utama yaitu harus bersifat personal dan bermakna. Dan yang lebih penting lagi adalah kita menetapkan impian dengan menggunakan kesadaran kita pada saat itu.

Hal ini berarti seiring dengan berkembang dan meningkatnya kesadaran diri maka kita perlu melakukan update impian-impian kita. Ada yang perlu kita tambah dan ada yang perlu kita hapus dari daftar.

Mengapa sampai perlu dihapus dan ditambah? Karena seringkali apa yang dulu kita anggap penting ternyata sekarang sudah tidak penting lagi. Apa yang dulu kita anggap personal dan bermakna ternyata sekarang sudah tidak bermakna lagi karena level kesadaran kita telah berkembang. Sebaliknya apa yang dulu tidak terpikirkan oleh kita, eh… sekarang malah sangat penting untuk kita capai.

Impian harus ditetapkan dengan mengacu pada nilai-nilai hidup (value) tertinggi kita. Tidak asal ditetapkan seperti yang dilakukan oleh kebanyakan orang. Saat impian sejalan dengan value maka impian ini berisi muatan emosi positif yang tinggi. Emosi positif ini selanjutnya akan menjadi pendorong, motivator, dan sekaligus provokator sehingga kita akan selalu semangat melakukan kerja atau upaya untuk mencapainya. Pencerahan lain yang saya dapatkan adalah kita perlu hati-hati menetapkan makna kata “pensiun”. Mengapa? Karena ada begitu banyak orang sulit mencapai kebebasan waktu dan uang yang mereka impikan karena mereka dihambat oleh kata “pensiun”.

Lho, kok bisa begitu?

Begini ya. Manusia berpikir dengan menggunakan dua pikiran yaitu pikiran sadar dan bawah sadar. Pensiun diartikan sebagai sesuatu yang indah, kebebasan uang dan waktu, ini kan baru kita dapatkan setelah kita dewasa. Apalagi setelah membaca bukunya Robert Kiyosaki Cashflow Quadrant.

Pensiun menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) artinya: 1) tidak bekerja lagi karena masa tugasnya telah selesai, dan 2) uang tunjangan yang diterima tiap-tiap bulan oleh karyawan sesudah ia berhenti bekerja atau oleh istri (suami) dan anak-anaknya yang belum dewasa kalau ia meninggal dunia. Definisi pensiun di atas nggak terlalu bagus, kan?

Nah, bagaimana dengan makna “pensiun” menurut orang di sekitar kita? Berbeda dengan definisi KBBI di atas, dari hasil programming saat kita masih kecil umumnya kata “pensiun” mempunyai arti “berhenti bekerja”, “uang pas-pasan”, “nganggur karena sudah nggak ada kerjaan”, “tidak punya kekuasaan”, “tidak dihargai orang”, “tua dan lemah”, atau “melewati hari-hari yang membosankan”. Hal ini ditambah lagi ada banyak contoh orang yang pensiun dari jabatan tertentu eh.. dua tahun kemudian meninggal.

Jadi, tanpa kita sadari ada muatan emosi negatif yang cukup tinggi yang melekat pada kata “pensiun”. Emosi negatif ini bekerja di level pikiran bawah sadar dan tanpa kita sadari justru menjadi mental block yang menghambat upaya kita.

Langkah awal untuk pensiun adalah melakukan definisi ulang makna kata “pensiun”. Dan pastikan makna ini benar-benar masuk dan tertanam dengan kuat di pikiran bawah sadar kita.

Anda mungkin tidak percaya dengan apa yang saya jelaskan di atas, bahwa apa yang kita pikirkan secara sadar belum tentu sejalan dengan pikiran bawah sadar. Bila sampai terjadi konflik antara pikiran sadar dan bawah sadar maka yang selalu menang adalah pikiran bawah sadar.

Ini saya beri contoh nyata. Seorang kawan, sebut saja Budi, adalah anak muda yang sangat aktif dan percaya diri. Budi punya impian besar. Ia ingin jadi orang sukses. Budi menyiapkan diri dengan sungguh-sungguh. Ia serius mengembangkan dirinya dengan membaca sangat banyak buku pengembangan diri, bisnis, keuangan, ekonomi, dan mengikuti berbagai seminar di dalam dan luar negeri. Budi telah mengikuti pelatihan semua pembicara top Indonesia. Di luar negeri Budi, antara lain, mengikuti pelatihan Anthony Robbins dan Robert Kiyosaki.

Setelah dipertimbangkan dengan sungguh-sungguh Budi akhirnya memilih fast track menjadi orang kaya dengan menjadi pengusaha properti. Budi sadar sesadar-sadarnya bahwa, seperti ilmu yang ia dapatkan dari berbagai pelatihan yang ia ikuti, untuk bisa sukses finansial tidak perlu modal besar. “You don’ need a lot of money to make a lot of money”, ini mantra yang selalu ia sampaikan pada saya, “ Yang penting sikap, keyakinan diri, dan antusiasme”. Namun setelah mencoba sekian lama Budi masih tetap belum bisa berhasil. So, what’s wrong? Some thong wring… eh.. salah… some thing wrong.

Apa yang menjadi penghambat Budi?

Pikiran sadar Budi yakin bahwa tidak perlu uang banyak untuk sukes secara finansial. Namun pikiran bawah sadarnya berkata sebaliknya. Budi belum bisa sukses karena, menurut pikiran bawah sadarnya, tidak punya modal banyak. Hal ini semakin diperparah lagi dengan satu program pikiran yang ia dapatkan dari ayahnya yaitu kalau berbisnis tidak boleh mengambil untung banyak karena pelanggan bisa lari ke orang lain.

Saat keluar dari kondisi relaksasi pikiran dan diajak berdiskusi mengenai mental blocknya Budi sempat bingung. Ia berkata, “Ini benar-benar nggak masuk akal. Saya sudah yakin seyakin-yakinnya kalau mau sukses nggak perlu modal besar, eh… pikiran bawah sadar saya berkata sebaliknya. Makanya susah sekali untuk sukses. Rupanya saya disabotase pikiran saya sendiri. Padahal saya yakin sekali lho dengan apa yang diajarkan Kiyosaki.”

Nah, pembaca, anda jelas sekarang?

Kembali ke definisi kata “pensiun”, saya mendefinisikan pensiun bukan dari ukuran kebebasan waktu dan uang yang saya capai. Saya mendefinisikan pensiun sebagai melakukan sesuatu dengan pikiran tenang dan hati yang damai.

Nah, untuk bisa mencapai pikiran yang tenang dan hati yang damai, saat melakukan suatu kegiatan,pekerjaan, atau bisnis, maka saya perlu menetapkan syarat-syarat yang spesifik. Istilah teknisnya “rule” atau aturan.

Saya menetapkan syarat antara lain: 1) saya suka melakukan pekerjaan itu, 2) semakin saya melakukannya maka semakin diri saya bertumbuh dan berkembang ke arah yang lebih baik, 3) apa yang saya lakukan mempengaruhi hidup orang banyak secara positif, 4) saya menentukan harganya, 5) saya bisa melakukannya di mana saja, kapan saja, dan dengan siapa saja, 6) tidak perlu banyak karyawan, 7) gudangnya ada di otak dan komputer saya, 8) saya bersedia tidak dibayar melakukan apa yang saya lakukan, 9) sejalan dengan tujuan hidup saya, 10) bisa diwariskan atau diteruskan oleh anak.

Jika anda baca dengan saksama maka syarat yang saya tetapkan di atas sebenarnya menjelaskan satu hal yaitu passion. Namun juga jangan salah mengerti ya. Jika hanya berbekal passion saja tidak cukup untuk sukses. Passion harus didukung oleh strategi yang jitu dan terarah.

Ada klien saya yang hanya mengandalkan passion saja, walaupun saya tahu ia orang yang sangat kompeten di bidangnya, ternyata harus mengalami kegagalan beruntun di dalam bisnisnya. Waktu saya tanya, “Strategi apa yang akan anda gunakan dalam memasarkan produk anda?”, jawabnya enteng, “Nggak usah pake strategi macam-macam. Pokoknya saya senang melakukan apa yang saya lakukan. Hasilnya pasti akan bagus. Nanti akan sukses dengan sendirinya”.

Apa yang terjadi? Benar di awal bisnisnya pesanan sangat banyak. Namun karena tidak didukung dengan perencanaan yang matang, klien ini harus kalang kabut untuk memenuhi pesanan produknya. Akibatnya, quality control terabaikan. Dan ending-nya, bisnisnya bubar karena banyak klien kecewa dan menolak melanjutkan kerjasama.

Defisi lain yang perlu kita tetapkan dengan sangat hati-hati adalah makna kata “kaya”. Apa ukurannya sehingga seseorang disebut sebagai orang kaya?

Masyarakat umumnya mengukur dari jumlah rupiah yang dimiliki seseorang. Semakin banyak rupiahnya maka semakin kaya orang itu. Apakah benar seperti ini?

Jawaban ini benar, untuk ukuran kebanyakan orang. Namun untuk diri kita sendiri, kita perlu menetapkan definisi yang personal. Kaya sebenarnya tidak ada hubungannya dengan jumlah rupiah. Kaya sebenarnya lebih ditentukan oleh perasaan cukup.

Apa maksudnya?

Begini, ada banyak orang yang sangat kaya (uangnya banyak sekali) namun sebenarnya ia hidup dalam kemiskinan. Juga ada sangat banyak orang yang miskin (uangnya sedikit sekali) namun mereka sangat kaya.

Seorang kawan dengan sangat bijak pernah berkata, “Orang kaya itu adalah orang miskin yang kebetulan uangnya banyak. Sedangkan orang miskin itu adalah orang kaya yang kebetulan uangnya sedikit.”

Lho, kok dibolak-balik?

Kaya atau miskin ini lebih ditentukan oleh perasaan cukup. Saat kita merasa cukup, kita puas dengan apa yang kita miliki, maka pada saat itu kita telah menjadi orang kaya. Kita bisa kaya tanpa harus punya uang sangat banyak. Sebaliknya, walaupun kita punya isi seluruh dunia, namun bila kita masih tetap saja merasa kurang maka sebenarnya kita adalah orang miskin. Bahkan John D. Rockefeller JR., berkata, “Orang termiskin yang aku ketahui adalah orang yang tidak mempunyai apa-apa kecuali uang”. Kaya raya ukurannya semata-mata hanyalah suatu perasaan. Dan karena parameternya adalah perasaan maka hal ini sangatlah subjektif. Setiap orang punya takaran sendiri. Kita tidak boleh menggunakan takaran orang lain untuk mengukur diri kita. Demikian pula sebaliknya kita tidak boleh menggunakan takaran kita untuk mengukur orang lain.

Nah, sekarang bagaimana menjadi bahagia?
Jika kita melakukan pekerjaan atau bisnis dengan hati gembira, karena sesuai dengan nilai-nilai dan tujuan hidup kita, dan menjadi kaya berdasarkan perasaan cukup yang kita tetapkan sendiri, dengan penuh kesadaran, maka hasil akhirnya kita pasti bahagia.

Saya pernah ditanya seorang peserta seminar, “Pak Adi, kalau memang Bapak sedemikian hebat, mengerti otak-atik pikiran, bisa membantu seseorang berubah dan sukses, mengapa Bapak tidak mendirikan banyak perusahaan dan menjadi milyuner? Atau mengapa Bapak tidak mencoba menjadi presiden RI?”.

Menjawab pertanyaan peserta ini saya menjelaskan dua hal. Pertama, saya tidak pernah mengklaim diri saya sebagai orang hebat. Saya hanyalah seorang pembelajar di Universitas Kehidupan yang kebetulan mengambil spesialisasi jurusan teknologi pikiran. Saya belajar dan praktik lebih dulu dari peserta itu. Jika kita sama-sama belajar, bisa jadi peserta itu jauh lebih pintar dari saya.

Kedua, saya tidak akan mau mendirikan perusahaan besar ataupun jadi presiden RI. Sebenarnya sekarang pun saya adalah seorang presiden, Presiden Direktur di perusahaan Kehidupan saya sendiri. Alasan lainnya saya telah menentukan tujuan hidup saya, yang didasarkan pada nilai-nilai hidup saya. Saya punya parameter yang sangat subjektif yang digunakan untuk mengukur keberhasilan hidup saya. Salah satunya adalah ketenangan pikiran dan kedamaian hati.
Nah pembaca, nggak susah kan untuk bisa pensiun muda, kaya raya, dan bahagia? Kalau mati masuk surga, wah ini urusannya sama Tuhan. Saya nggak berani komentar.

TRAINERPRENEUR
Belum lama berselang saya terpesona oleh konsep dan pengertian dari sebuah istilah yang baru saya kenal: mikropreneur. Setelah membaca beberapa uraian mengenai istilah tersebut, saya kira kata “mikropreneur” dapat dipergunakan untuk menjelaskan fenomena maraknya sebuah profesi yang untk mudahnya saya sebut dengan istilah trainerpreneur.

Dari studi sederhana yang sempat saya lakukan, pengertian mikropreneur menunjuk kepada seorang entrepreneur yang mau menerima risiko untuk memulai dan mengelola jenis usaha yang akan tetap kecil (skala tertentu), yang memungkinkan dirinya memilih pekerjaan yang memang ia sukai, dan membuatnya bisa menjalankan gaya hidup seimbang sesuai nilai-nilai yang ia yakini.

Perbedaan antara mikropreneur dengan pegawai negeri maupun swasta pada umumnya terletak dalam sedikitnya enam hal. Pertama, mikropreneur fokus pada peluang, bukan pada rasa aman. Kedua, ia fokus pada apa yang laku di pasar, bukan pada apa yang ia ketahui. Ketiga, ia berorientasi pada hasil, bukan pada menjalankan rutinitas. Keempat, ia memikirkan soal perolehan keuntungan, bukan pada peroleh gaji tetap. Kelima, mikropreneur senang mencoba ide-ide baru, bukan pada usaha menghindari kesalahan. Dan keenam, ia terpesona terhadap suatu visi jangka panjang, bukan pada kenikmatan jangka pendek.

Jelas bahwa mikropreneur bukan pegawai. Namun bagaimana ia dibedakan dengan apa yang galib disebut sebagai entrepreneur?

Perbedaan mikropreneur dengan entrepreneur dalam pengertian konvensional sedikitnya nampak dalam tiga hal. Pertama, mikropreneur bukanlah pengambil risiko yang besar. Ia bukanlah orang sehebat Ir. Ciputra yang sejak muda berambisi besar untuk mengubah wilayah tandus menjadi kota, mengubah sampah menjadi emas. Ia juga bukan orang seperti Mochtar Ryadi dan anak cucunya yang memiliki nyali luar biasa untuk mengambil risiko-risiko raksasa. Mikropreneur mengambil risiko tertentu juga, tetapi dalam skala yang relatif kecil.

Perbedaan kedua adalah soal motivasi. Motivasi utama seseorang memilih jalur menjadi mikropreneur adalah pertama-tama dan terutama kebebasan. Ambisinya kepada kebebasan lebih besar ketimbang ambisi terhadap kekayaan finansial. Ini disebabkan oleh pilihan nilai-nilai tertentu yang dianutnya. Misalnya, sejumlah kawan di Jakarta memilih menjadi mikropreneur semata-mata karena mereka tidak ingin menghabiskan waktu 3-4 jam sehari di jalanan yang macet setiap hari. Mereka ingin punya waktu lebih banyak untuk melakukan hal lain yang disukainya; atau lebih memberikan waktu untuk pasangan hidup, anak-anak, atau anggota keluarga lainnya. Pada satu sisi mereka merasa bekerja sebagai pegawai di Jakarta—dengan tempat tinggal yang terletak jauh dari kantor, dan pertumbuhan penghasilan yang berkejaran dengan inflasi—adalah pilihan yang tidak rasional. Belum lagi soal rutinitas pekerjaan yang tidak memberikan tantangan bagi pertumbuhan mental-emosional-spiritualnya. Pada sisi lain, mereka sebenarnya tidak bercita-cita besar untuk menjadi konglomerat atau taipan yang memimpin usaha skala nasional dan internasional. Posisi mikropreneur terjepit di antara pegawai dan entrepreneur skala besar.

Perbedaan ketiga harus ditambahkan sebagai bagian yang tak terpisahkan, bahwa mikropreneur adalah seorang yang terpelajar. Meski mereka belum tentu orang yang memiliki banyak gelar akademis, namun mikropreneur adalah orang yang senang belajar dan karenanya pro-perubahan. Karena itu jenis usaha yang dilakukan oleh mikropreneur umumnya lebih mengandalkan kecerdasan dan ilmu pengetahuan yang memang diminatinya. Mereka terus belajar meningkatkan kompetensinya dan menghasilkan karya-karya yang menunjukkan ciri-ciri hakiki dari kaum terpelajar.

Berdasarkan pemahaman di atas, saya menggunakan istilah trainerpreneur untuk menunjuk kepada mikropreneur yang menekuni bidang pelatihan. Sebab trainerpreneur memenuhi semua ciri dari apa yang disebut mikropreneur itu. Mereka bukan pegawai karena mereka fokus pada peluang; menyimak pada apa yang laku di pasar; berorientasi pada hasil; memikirkan soal perolehan keuntungan; senang mencoba ide-ide baru; terpesona terhadap suatu visi jangka panjang yang menyangkut peran mereka dalam membangun manusia-manusia Indonesia yang lebih baik.

Trainerpreneur bukan entrepreneur dalam pengertian konvensional, sebab mereka bukan pengambil risiko besar; mereka mengutamakan kebebasan di atas keberhasilan finansial; dan tentu saja mereka senang belajar. Seorang entrepreneur belum tentu bisa dan belum tentu berminat untuk memainkan peranan sebagai trainerpreneur, demikian juga sebaliknya.

Dalam pengamatan saya, profesi sebagai trainerpreneur tumbuh dan berkembang di Indonesia hampir bersamaan dengan munculnya profesi perencana keuangan, yakni dalam satu dekade terakhir, bersamaan dengan runtuhnya Orde Baru. Bak cendawan di musim penghujan, makin banyak orang tertarik untuk menjadi trainer dan pembicara. Media cetak dan elektronik juga mulai memberikan tempat khusus terhadap mereka yang berkecimpung dalam bidang ini. Kolom-kolom di media cetak, unjuk bicara di radio dan televisi semakin marak dengan kehadiran mereka.

Sudah bertahun-tahun saya memikirkan cara untuk mendorong munculnya trainerpreneur-trainerpreneur baru di negeri ini. Sebab saya berkeyakinan bahwa kehadiran mereka akan memberikan dampak positif bagi pembangunan manusia-manusia Indonesia dalam jangka panjang. Dan akhirnya saya menemukan kawan seiring untuk bekerjasama dalam soal ini: Hari Subagya. Lewat program Train and Grow Rich yang dirintisnya tahun 2008 lalu, kami memutuskan untuk mulai bergerilya memasarkan profesi trainerpreneur di tahun-tahun mendatang.









HABITUS ORANG KAYA
Manusia membangun habitus secara perlahan. Dan kemudian habitus itu membentuk nasibnya.
– Pandir Karya
”Apakah habitus orang kaya yang paling umum?” tanya saya kepada sejumlah kawan.
”Mereka super pelit,” kata Iin.
”Orang kaya yang saya kenal banyak yang sombong,” jawab Toni.
”Selalu memperhitungkan segala sesuatunya dengan cermat,” kata Herlina.
”Tidak suka berhutang,” ujar Didi.
”Suka menawar harga barang yang ingin dibelinya,” jelas Diah.
”Mereka suka memamerkan kekayaannya,” kata Rudy.
”Cenderung serakah dan asosial,” gagas Yuyun.
”Hanya membeli barang-barang bermerek terkenal,” ujar Lilik.
”Hidup hemat, cenderung pelit, dan tidak suka menunjukkan kemampuan mereka yang sebenarnya,” papar Dewi.
”Suka bangun siang dan tidur dini hari,” kata Indra.
 
”Habitus (Latin) bisa berarti kebiasaan, tata pembawaan, atau penampilan diri, yang telah menjadi insting perilaku yang mendarah daging, semacam pembadanan dari kebiasaan kita dalam rasa-merasa, memandang, mendekati, bertindak, atau berinteraksi dalam kondisi suatu masyarakat… bersifat spontan, tidak disadari pelakunya apakah itu terpuji atau tercela, seperti orang tak sadar akan bau mulutnya. Ia bisa menunjuk seseorang, tapi juga kelompok sosial,” demikian antara lain penjelasan B. Herry-Priyono (Kompas, 31 Desember 2005).

Perhatikan bahwa habitus ”...telah menjadi insting perilaku yang mendarah daging”, ”bersifat spontan”, ”tidak disadari pelakunya”, dan bisa menunjuk kepada ”kelompok sosial” tertentu. Nah, dengan pemahaman ini, mari kita coba pikirkan, apa sajakah habitus kelompok sosial ekonomi atas (baca: orang-orang kaya dan super kaya) yang telah menjadi insting perilaku yang mendarah daging, bersifat spontan, dan tidak disadari pelakunya (baca: bersifat reflek)?

Dari studi literatur tentang kecenderungan perilaku orang-orang kaya di Amerika dan Asia, serta dari pengamatan pribadi mengenai perilaku sejumlah kawan yang kaya di Indonesia, sekurang-kurangnya bisa disebutkan beberapa habitus yang saling kait mengait satu sama lain sebegai berikut.

Habitus pertama, dan boleh jadi ini yang terpenting, mereka menikmati hidup dengan standar jauh dibawah kemampuan mereka yang sebenarnya. Artinya, secara keuangan mereka lebih kuat dari apa yang nampak oleh mata lingkungannya. Mereka lebih kaya dari apa yang mungkin dipikirkan orang lain di sekitar mereka (tetangganya). Bila mereka sesungguhnya mampu membeli rumah seharga Rp 10 miliar, maka mereka senang memilih rumah seharga Rp 1 miliar. Jika mereka mampu membeli mobil seharga Rp 2 miliar, mereka senang memilih mobil seharga Rp 600 juta saja. Sekalipun mereka lebih dari mampu membeli barang-barang yang dipajang di butik-butik eksklusif atau pertokoan mewah macam Sogo Departemen Store, mereka tidak sungkan untuk berbelanja di pusat belanja grosir seperti di ITC Mangga Dua.

Seorang kawan yang saya duga memiliki harta kekayaan bersih lebih dari Rp 20 miliar dan tinggal di kawasan Karawaci, Tangerang, pernah mengatakan kepada saja bahwa, ”Saya menganut pandangan bahwa apapun yang kita gunakan dan nampak oleh orang lain seharusnya tidak lebih dari sepertiga kekuatan kita yang sesungguhnya. Dan kalau saya bisa menggunakan sepertigapuluh atau bahkan sepertigaratus dari kemampuan finansial saya untuk hidup nyaman, itu sudah cukup. Saya tidak suka dikenal terutama sebagai orang kaya. Saya lebih suka dikenal sebagai orang yang berkarya”. Pernyataan ini dengan tegas menunjukkan bahwa ia menikmati hidup dibawah kemampuan yang sesungguhnya.
Karena terbiasa hidup dibawah kemampuan yang sesungguhnya, maka mereka—orang-orang kaya tersebut—selalu memastikan bahwa biaya konsumsi mereka jauh dibawah penghasilan rutin yang mereka peroleh. Itulah habitus kedua. Jika mereka memperoleh penghasilan rutin (katakan saja) Rp 30-40 juta per bulan, maka mereka telah membiasakan diri untuk hanya menggunakan sekitar Rp 10-15 juta per bulan untuk memenuhi kebutuhan bulanan keluarganya. Dan ketika penghasilan mereka meningkat menjadi Rp 60-70 juta per bulan pun, mereka tidak merasa perlu untuk mengubah pola konsumsi mereka. Dalam hal ini yang meningkat secara langsung adalah jumlah tabungan untuk investasi, karena biaya konsumsi relatif tetap.

Habitus yang ketiga adalah kebiasaan menyisihkan dana untuk tabungan dan investasi dulu, dan menyisakan yang lainnya untuk konsumsi rutin setiap bulannya. Jadi bukannya menggunakan penghasilannya untuk konsumsi dan kalau akhir bulan masih tersisa baru ditabung dan diinvestasikan. Dengan kata lain, mereka terbiasa untuk mencurahkan cukup banyak waktu untuk memikirkan soal kemana dan bagaimana uang mereka ditabung dan diinvestasikan agar berkembang lebih maksimal. Mereka tidak memberikan banyak waktu untuk memikirkan cara-cara menggunakan uang secara konsumtif, untuk berbelanja berlama-lama di pusat-pusat pembelanjaan. Sebaliknya, mereka memberikan banyak waktu untuk memikirkan hal-hal yang membuat harta mereka menjadi makin produktif, tumbuh dan berkembang, sehingga mereka menjadi mapan secara keuangan.

Setiap kali saya mengingat sejumlah perbincangan ketika berkesempatan mewawancarai atau sekadar mendengarkan nasihat orang-orang seperti Mochtar Ryadi, Ir. Ciputra, Bob Sadino, Jonathan L. Parapak, dan Soen Siregar, saya merasakan bagaimana ketiga habitus yang disebut di atas telah terpatri menjadi bagian dari tarikan nafas orang-orang tersebut. Tentu saja masih banyak lagi habitus orang-orang yang mapan secara finansial itu. Namun tiga yang telah dipaparkan di atas adalah habitus yang paling umum.

Karena itu saya bisa memastikan bahwa kawan-kawan saya yang lebih suka menampilkan gaya hidup seperti orang kaya, membiasakan diri untuk berbelanja lebih dulu dan menabung belakangan, serta senang menghabiskan banyak waktu untuk memikirkan barang-barang konsumsi (gonta ganti mobil baru tiap 1-2 tahun sekali, mengenakan pakaian-pakaian bermerek yang dibeli secara kredit, makan minum di tempat-tempat mahal, dan sebagainya), pastilah tidak akan pernah menjadi orang yang mapan secara keuangan. Orang muda yang suka foya-foya, hampir pasti akan hidup susah di usia senja. Sepasti matahari tenggelam di ufuk barat.

Kalau tak percaya, silahkan mencoba dan rasakan akibatnya!





KERJA KREATIF, SIAPA BISA?
Kreatif - 1 ...berkaitan dengan atau melibatkan imajinasi atau ide-ide orisinil, khususnya dalam memproduksi pekerjaan artistik; 2 ... kemampuan untuk menciptakan aneka gagasan, terutama dalam pikiran, imajinasi; 3 ... orang (-orang) yang menghasilkan karya-karya; dsb...

Di sekolah kehidupan kita semua adalah mahluk pekerja. Sebab dalam artinya yang luas, makna kata ”kerja” dan ”pekerjaan” menunjuk ke hampir semua aktivitas yang dilakukan oleh manusia atau karya-karya manusia itu (mesin/alat/teknologi). Aktivitas-aktivitas itu ada yang bertujuan untuk memperoleh nafkah lahiriah, yang kita sebut upah, gaji, komisi, atau uang. Ada juga aktivitas yang lebih ditujukan untuk memperoleh nafkah mental, seperti berburu ilmu pengetahuan dan keterampilan, baik lewat institusi formal (sekolah-akademi-universitas yang memberi gelar, bersifat akademis) atau informal (lembaga non-gelar, bersifat praktis), bahkan nonformal (pergaulan di masyarakat). Tak sedikit pula aktivitas yang ditujukan untuk mempererat tali silahturahmi, semacam nafkah sosial-emosional dalam konteks kehidupan. Dan sebagian aktivitas lagi bertujuan untuk memperoleh nafkah spiritual yang memberikan kecerahan hati, kedamaian batin, dan ketentraman yang fundamental dalam menghadapi badai-badai kehidupan.

Meski semua manusia adalah mahluk pekerja, namun para ahli perilaku organisasi sering membeda-bedakan jenis pekerjaan---dalam arti karier yang menafkahi kehidupan pekerjanya---menjadi lima kelompok besar. Pertama, pekerjaan fungsional yang terfokus pada keahlian teknis di bidang-bidang khusus. Inilah yang dilakukan oleh ahli mekanik, desain grafis, pustakawan, teknisi, operator, dan sebagainya. Kedua, pekerjaan manajerial yang terfokus pada proses analisis informasi dan pengelolaan neka ragam sumberdaya, termasuk memimpin manusia. Pekerja di bidang manajerial ini disebut manajer, pimpinan, atau eksekutif. Ketiga, pekerjaan entreprener yang terfokus pada upaya menghasilkan produk/jasa baru dan/atau membangun organisasi usaha (perusahaan) yang bertujuan mencetak laba bagi pemiliknya. Kita menyebut kaum pekerja jenis ini sebagai pedagang, wirausaha, pengusaha, konglomerat, atau tikon, tergantung pada skala usahanya. Keempat, pekerjaan negara yang terfokus pada tugas-tugas administrasi birokrasi dan pertahanan keamanan seperti pegawai negeri dan militer, dengan jenjang yang jelas dan relatif stabil sehinga memberikan rasa aman tertentu. Dan kelima, pekerjaan mandiri yang terfokus pada kebebasan berkarya sesuai dengan irama atau waktu kerja masing-masing, seperti pada peneliti, seniman, penulis lepas, konsultan, dan sebagainya.

Banyak orang berpendapat bahwa dari kelima jenis pekerjaan tersebut di atas, pekerjaan sebagai entreprener adalah jenis yang paling banyak menuntut kreativitas. Sebab entreprener diharapkan untuk melakukan inovasi dengan menghasilkan hal-hal baru yang berguna bagi masyarakat luas atau menemukan cara-cara baru yang memberikan nilai tambah terhadap sesuatu yang sudah ada sebelumnya. Lahirnya produk-produk legendaris seperti Aqua, Teh Sosro, Es Teller 77, Jamu Tolak Angin, Dunia Fantasi, Kota Wisata, dan sebagainya, selalu digunakan sebagai contoh kreativitas kaum entreprener di Indonesia. Dengan kata lain, entreprener dianggap sebagai kaum ”pekerja kreatif” di masyarakat.

Pada sisi lain, sebagian orang melekatkan predikat ”pekerja kreatif” hanya terbatas pada praktisi industri periklanan. Terutama karena secara eksplisit, dalam industri periklanan di kenal jabatan kunci yang diberi label ”Creative Director”. Selanjutnya, ada pula yang mengaitkan konsep ”pekerja kreatif” ini hanya terbatas kepada para seniman, pemain teater, sastrawan, dan praktisi industri hiburan, yang umumnya bekerja di luar kantor-kantor tradisional.

Jadi, apakah kerja kreatif itu hanya terbatas milik entreprener, praktisi periklanan dan industri hiburan? Apakah pekerja fungsional, pekerja manajerial, dan pekerja negara tidak perlu kreatif, cukup mengikuti sistem dan prosedur saja?

Terus terang, dari proses pembelajaran saya di sekolah kehidupan, saya melihat tuntutan untuk menjadi pekerja kreatif, setidaknya di milenium ketiga ini, berlaku hampir di semua jenis pekerjaan yang disebutkan di atas. Era kerja keras semata sudah bukan jamannya lagi, meski sulit bagi sebagian besar orang untuk tidak bekerja keras. Di atas kebiasaan kerja keras, perlu ditambahkan kemampuan untuk bekerja secara cerdas, yaitu kerja kreatif.

Dalam konsep kerja keras, indikator pertama yang biasanya dipergunakan untuk mengukur seberapa ”keras” seseorang telah bekerja adalah lamanya waktu bekerja. Misalnya, jika sebagian orang bekerja dari jam 8 pagi hingga jam 8 malam, maka ia kita sebut bekerja keras, sebab orang kebanyakan bekerja dari jam 8/9 pagi hingga jam 5 sore saja. Atau jika orang masuk kantor di hari Sabtu, ketika kawan-kawannya menikmati liburan akhir minggu, maka ia disebut sebagai pekerja keras. Atau kalau ada orang yang bekerja sampai 50/60 jam dalam seminggu, ia masuk kelompok pekerja keras karena umumnya waktu kerja normal 40/44 jam seminggu.

Untuk mampu menjadi pekerja keras, sudah barang tentu dipersyaratkan kondisi fisik yang prima. Orang-orang yang mudah jatuh sakit tidak akan dikenal sebagai pekerja keras. Orang-orang yang tidak menunjukkan disiplin dalam bekerja, juga umumnya tidak dimasukkan dalam kategori pekerja keras. Jadi, kesehatan fisik dan disiplin menjadi indikator kedua untuk dapat mengukur siapakah yang layak disebut sebagai pekerja keras.

Pertanyaannya sekarang, jika pekerja keras dapat didefinisikan dengan ukuran jumlah waktu kerja, kesehatan fisik, dan disiplin kerja, bagaimanakah kita mengukur atau mendefinisikan ”pekerja kreatif” yang bekerja secara cerdas?

Ada orang yang menggunakan istilah ”Lazy Achiever” untuk menunjuk kepada kaum pekerja kreatif ini. Istilah ini sangat provokatif, sebab bagaimana mungkin seorang pemalas bisa berprestasi? Namun terlepas dari istilahnya itu, ia menawarkan konsep untuk bekerja 4-5 jam sehari dengan hasil-hasil yang sama atau bahkan lebih baik dari orang-orang yang bekerja 9-10 jam sehari. Dengan kata lain, pekerja kreatif adalah mereka yang bekerja dengan waktu yang lebih singkat untuk memperoleh hasil yang sama atau lebih baik. Disamping itu, konsep ”Lazy Achiever” menunjuk kepada orang-orang yang bisa bekerja secara mandiri atau berkolaborasi dan tidak terikat pada lokasi kerja yang disebut kantor. Tempat kerja kaum kreatif ini bisa dimana saja, mulai dari rumah, garasi, kafe, lobby hotel, kantin sekolah, taman rekreasi, dan sebagainya. Dan mereka dimungkinkan untuk bekerja dimana saja karena perlengkapan kerjanya mudah dibawa kemana-mana (mobile working tools).

Jadi, kerja kreatif diartikan sebagai bekerja dengan waktu lebih pendek dan fleksibel, secara mandiri atau berkolaborasi, di lokasi kerja yang juga fleksibel, dengan hasil-hasil yang berkualitas tinggi. Untuk itu tidak saja diperlukan fisik yang sehat dan disiplin, tetapi dipersyaratkan penggunaan potensi kecerdasan lainnya yang telah dikembangkan secara memadai.

Dengan pemahaman seperti di atas, muncul pandangan bahwa kerja keras adalah fondasi yang perlu, tetapi tidak akan membawa seseorang kepada kehidupan yang berkualitas. Kerja keras merupakan persyaratan yang diperlukan, tetapi tidak mencukupi (necessary but not sufficient condition) untuk menikmati kehidupan yang berkualitas dan penuh makna. Dan kerja keras hanya menarik jika kita masih dalam rentang usia 20-40 tahun. Setelah lewat usia 40 tahun, kita seharusnya telah mampu bekerja secara cerdas, menjadi pekerja kreatif, yang memberi makna pada hidup yang fana. Demikiankah?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar